Selasa, 16 Desember 2014

Islam di Patani, Thailand Selatan : Negeri Islam yang Hilang (Bagian 2/Tamat)


www.majalah-alkisah.comUpaya menjaga “tradisi nenek moyang” menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya.



Daerah Rawan Konflik
Upaya menjaga “tradisi nenek mo­yang” menjadi bagian dari identitas ter­kuat bagi keluarga muslim Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan ke­banyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka menyadari bahwa niat memi­sahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi lama, yang kini harus ditinggalkan.
Terintegrasi dengan Thailand, ber­saing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddhis, adalah pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah me­majukan pendidikan, mendukung pem­bangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.
Hal yang terakhir masih menjadi ken­dala bagi penciptaan perdamaian di wi­layah selatan. Berbagai teror, pembunuh­an, dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah me­ninggal setidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.
Ketika terjadi penyerangan atau pem­bunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi, atau masyarakat Buddha, yang dituduh adalah muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah “bandit muslim”. Istilah yang menodai perasaan muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah se­ngaja diciptakan oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.
Seperti halnya kaum minoritas di ne­gara-negara yang lain, kawasan Thailand bagian selatan, yang merupakan basis ma­syarakat Melayu-muslim, adalah dae­rah konflik dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama yang berkepanjangan. Lebih-lebih ketika kerajaan Melayu dihapuskan pada tahun 1902, masyarakat melayu Patani dalam keadaan sangat tertekan. Khususnya pada pemerintahan Pibul Songgram (1939-44), orang Melayu-lah yang men­jadi korban asimilasi kebudayaan. Bah­kan sampai saat ini pun masyarakat muslim minoritas Patani Thailand masih menghadapi diskriminasi dan teror yang berlarut-larut. Kehidupan sosial maupun politik masih terganggu.
Konflik berkepanjangan di Thailand selatan tak ada bedanya dengan konflik minoritas muslim di Pulau Moro Filipina.
Sejak peristiwa pembunuhan massal di Masjid Kerisek di Patani dan Takbai di wilayah Menara (2004) dan di Masjid Al-Furqan di wilayah Menara (2009), tidak ada tempat umat Islam untuk menga­du. Kondisi inilah yang membuat gerak­an-gerakan Pembebasan Patani Darusalam bangkit untuk melakukan per­lawanan hingga detik ini.
Sayangnya, konflik umat Islam Patani tidak mendapat tempat dan per­hatian dari dunia internasional, seperti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dan lembaga HAM dunia lainnya. Berbagai berita tragedi kemanusiaan di beberapa wilayah, mulai dari Narathiwat, Patani, hingga Yala, pun selalu diredam, tak per­nah diberitakan dalam media-media lokal di Thailand, Malaysia, bahkan internasio­nal.
Perlu adanya perhatian yang lebih dari semua umat Islam untuk membantu mereka, secara materiil maupun moril.
Penandatanganan Kesepakatan
Muslim di Thailand mempunyai se­jarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku. Mulai dari abad ke-13, ketika agama Islam menapakkan kakinya di Kerajaan Patani dan kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut.
Masyarakat muslim Thailand saat ini telah menjadi bagian integral dari kese­luruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa abad yang lalu. Secara historis, kultur, dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat dari latar belakang masyarakat muslim sendiri, yaitu komu­nitas Melayu Patani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau Thailand. Saat ini, ketika modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya.
Kondisi tersebut memunculkan era baru antara muslim dan pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi umat Islam Thailand merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari pertum­buhan masjid di Thailand yang berkem­bang pesat: Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat 447 masjid, Patani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid, dan beberapa masjid di berbagai kota di Thailand.
Meski demikian, minoritas muslim Thailand masih jauh dari kelapangan dalam hidup, karena mereka tetap men­jadi minoritas yang kerap mendapat te­kanan dan diskriminasi, hingga sekarang.
Meskipun secara umum situasi Patani tampak tenang, ini seakan me­rupakan bom waktu yang siap meledak­kan potensi konflik terbuka setiap saat. Masyarakat Patani yang hidup dalam ketakutan (mirip suasana Aceh yang agamais pada masa Daerah Operasi Militer) oleh pengawasan dari militer Thailand. Kehidupan pun berjalan seperti penuh dengan kewaspadaan akan terjadi pertikaian-pertikaian baru.
Baru-baru ini, 28 Februari 2012, di­gelar penandatanganan kesepakatan antara muslim Patani dan pemerintah Thailand. Pihak muslim Patani diwakili Hassan Taib, wakil senior Barisan Revo­lusi Nasional (BRN), sedangkan pihak Thailand diwakili Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Nasional Thailand, Letnan Jenderal Paradorn Pattanatha­butr. Hassan Taib oleh International Crisis Group dianggap tokoh berpengaruh dalam masyarakat muslim Patani yang berdomisili di Malaysia.
Kesepakatan awal tersebut, yang membicarakan tema perdamaian di Thailand Selatan, merupakan suatu lang­kah yang bersejarah, khususnya bagi mus­lim Patani. Semoga tak ada lagi nyawa manusia yang harus dikorbankan. (Majalah Alkisah)

0 komentar:

Posting Komentar