Selasa, 30 Desember 2014

Ulama Malaysia dan Saudi Serukan Kaum Muslim Untuk Tidak Merayakan Acara Tahun Baru Masehi



Beberapa ulama Muslim Malaysia telah mendesak pemerintahnya untuk membatalkan perayaan Hari Tahun Baru , mengatakan bahwa perayaan tersebut mencerminkan budaya Yahudi dan akan menyebabkan para pemuda Muslim rentan untuk melakukan dosa .
” Perayaan tersebut  memiliki kesan hiburan yang berlebihan , yang dapat menyebabkan mayoritas pemuda Muslim untuk membiarkan keimanan mereka turun dan rentan melakukan banyak dosa , ” ujar Mustapha Idrus , presiden dari Malaysia International Institute of Islamic Cooperation ( Ikiam ) , seperti dikutip oleh The Malay Mail online.
” Ini bukan hanya masalah budaya , tetapi juga saatnya  pemerintah untuk menghemat uang , melihat bahwa biaya hidup akan naik . Pemerintah perlu melihat apa perlunya adakan perayaan  tersebut . Merayakan Hari Tahun Baru saja akan menelan biaya jutaan ringgit , ” tambahnya .
Mufti Penang Datuk Seri Ahmad Hassan juga mengatakan bahwa  merayakan tahun baru lebih baik  dengan cara Islam , daripada perayaan dengan metode ” Barat ” .
” Akan lebih bagus lagi jika kita bisa merayakan tahun baru dengan mengadakan pengajian , berdoa  , sehingga generasi muda kita tidak akan tertarik pada budaya (barat)  yang tidak pantas , ” katanya seperti dikutip oleh Sinar .
” Saya yakin bahwa jika kita dapat merayakan dengan cara Islam, kita pasti akan dapat mengurangi penyakit sosial yang berkaitan dengan mudharatnya acara Tahun Baru . Mungkin  tidak akan ada perayaan yang memabukan generasi muda  , “tambah Hassan .
Kepala informasi UMNO Youth Jamawi Jaafar  memiliki  pendapat yang sama , menambahkan bahwa lebih baik untuk berdoa , bukannya merayakan  dengan konser band dan pertunjukan kembang api .
” Mari kita berdoa bersama bagi negara untuk menjadi lebih damai dan aman dari bencana alam pada tahun 2015 dan di tahun-tahun mendatang . Untuk non – Muslim , mengapa engkau tidak berdoa di tempat-tempat Anda sendiri untuk beribadah ? ” ujar Jamawi seperti dikutip oleh surat kabar .
Begitu juga para ulama di Arab Saudi juga menyuarakan seruan  yang sama , memperingatkan bahwa ” langkah-langkah hukuman ” akan diambil terhadap mereka yang merayakan malam tahun baru .
Komisi Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan , yang dikenal sebagai mutawa , memberikan  peringatan berdasarkan  aturan  keagamaan dewan  ulama Saudi yang melarang perayaan tahun baru masehi tersebut,  harian lokal Okaz melaporkan.
Dewan ulama tersebut  juga memperingatkan toko cendera mata Saudi untuk tidak menjual barang dagangan yang terkait dengan tahun baru masehi  , termasuk bunga dan boneka .
Arab Saudi mengikuti kalender Islam ,  tidak seperti semua negara-negara Teluk lainnya yang masih menggunakan kalender Gregorian .
Peringatan Saudi terhadap perayaan tahun baru masehi ini sangat  kontras dengan negara Emirat Arab, di Dubai terlihat persiapan untuk acara tahun baru besar besar dan mewah .
Dubai telah berjanji untuk merayakan malam tahun baru ekstravaganza dengan  lebih dari 400.000 kembang api , menurut Agence France Presse ( AFP ).

“Makna Natal Bagi Kristen Indonesia”


SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, menjelang perayaan Natal tahun 2014, induk kaum Protestan Indonesia yakni Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan induk kaum Katolik Indonesia, yakni Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),  mengeluarkan seruan Natal Bersama. Berikut ini petikan seruan tersebut:
“Natal merupakan sukacita bagi keluarga karena Sumber Sukacita memilih hadir di dunia melalui keluarga. Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib. Di situlah Allah yang selalu beserta kita turut merasakan kelemahan-kelemahan kita dan kepahitan akibat dosa walaupun ia tidak berdosa (bdk. Ibr. 4:15)…
 “… Natal: Undangan Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga.Natal adalah saat yang mengingatkan kita akan kehadiran Allah melalui Yesus dalam keluarga…. Dalam keluarga di mana Yesus hadir, yang letih disegarkan, yang lemah dikuatkan, yang sedih mendapat penghiburan, dan yang putus asa diberi harapan…
“Marilah kita menghadirkan Allah dan menjadikan keluarga kita sebagai tempat layak untuk kelahiran Sang Juru Selamat. Di situlah keluarga kita menjadi rahmat dan berkat bagi setiap orang; kabar sukacita bagi dunia.”
 Menyimak Pesan Natal PGI dan KWI tersebut, jelaslah bahwa Perayaan Natal adalah acara keagamaan yang sarat dengan  ajaran pokok kekristenan, yaitu pengakuan Yesus sebagai Tuhan.  Natal bukan sekedar perayaan sosial dan budaya.  Kaum Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus adalah anak Tuhan yang menjelma menjadi manusia, seperti mereka katakan: “Sang Putera Allah menerima dan menjalani kehidupan seorang manusia dalam suatu keluarga. Melalui keluarga itu pula, Ia tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang taat pada Allah sampai mati di kayu salib.”
Itulah makna Natal bagi kaum Kristen di Indonesia. Jadi, perayaan Natal secara terbuka dan besar-besaran di mana-mana, sejatinya adalah penyiaran dan kampanye ajaran Kristen, bahwa Yesus adalah Putra Tuhan. Bahwa, Tuhan mempunyai anak, yaitu Yesus Kristus. Dokumen Konstitusi Dogmatik tentang Gereja (Lumen Gentium, 14) yang disahkan pada 21 November 1964, dalam Konsili Vatikan II, di Roma, menegaskan:
”Karena satu-satunya Perantara dan jalan keselamatan adalah Kristus, yang hadir di antara kita di dalam Tubuhnya yaitu Gereja… Oleh karenanya tidak dapat diselamatkan orang-orang itu, yang walaupun tahu bahwa Gereja Katolik didirikan oleh Allah dengan perantaraan Yesus Kristus, sebagai sesuatu yang diperlukan, toh tidak mau masuk ke dalamnya atau tidak mau bertahan di dalamnya.” (Terjemah oleh Dr. J. Riberu, Dokpen MAWI, 1983).
 Inti ajaran Kristen adalah konsep “Pemyaliban” dan “Kebangkitan” Yesus. Manusia yang tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan, harus disadarkan dan diusahakan untuk dibaptis. Dokumen Ad Gentes juga mendesak Konsili Vatikan II mendesak:
 “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang “menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), “dan tidak ada keselamatan selain Dia” (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian… Oleh sebab itu, karya misioner  dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Lihat,  Walter M. Abbott (gen.ed.), The Documents of Vatican II, hal.  593. Naskah terjemah di kutip dari Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, hal. 377-478).
Dalam pidato tanggal 7 Desember 1990, yang berjudul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
Berdasarkan Dokumen-dokumen Resmi Gereja tersebut, jelas terlihat besarnya tugas yang diemban kaum Kristen dalam menjalankan misinya kepada orang-orang non-Kristen. Itulah yang ditegaskan oleh Paus Paulus VI dalam imbauan apostolik,  Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), pada 8 Desember 1975, yang diterbitkan KWI tahun 1990:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang  tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Keyakinan Islam
Keyakinan dan propaganda kaum Kristen bahwa Yesus adalah Tuhan dan anak Tuhan– dalam pandangan Islam – merupakan tuduhan yang tidak mendasar kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Allah adalah SATU (Ahad); Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Yesus, atau Isa a.s. adalah Nabi, adalah manusia biasa. Ia adalah utusan Allah, bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Dalam surat Maryam disebutkan, memberikan sifat bahwa Allah punya anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah berfirman dalam al-Quran (Terj.):“Hampir-hampir  langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Umat Islam adalah umat yang diajarkan untuk hidup dalam pluralitas. Sejak di Madinah, Rasulullah saw sudah membangun masyarakat yang plural, terdiri atas berbagai agama. Umat Islam diminta bersikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Tidak mencampuradukkan dan meremehkan. Sebab, aqidah menjadi landasan kehidupan paling hakiki bagi umat Islam. Karena itulah, meskipun bersikap sangat baik terhadap kaum Yahudi dan Nasrani dalam hubungan sosial kemasyarakatan, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wassallam mengajarkan sikap tegas dalam soal aqidah dan ibadah. Termasuk dalam masalah Perayaan Hari Besar Agama.
Dalam sebuah hadits Qudsy, dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda:“Allah berfirman: “Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula”. Bukankah membangkitkannya kembali  jauh lebih mudah bagi-Ku  dari pada menciptakannya pertama kali? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya,  “Allah telah mengambil seorang anak”. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung (berdiri sendiri). Aku tidak melahirkan dan tidak dilahirkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku”. (HR Bukhari).
Sebagian orang mungkin memandan Perayaan Natal sekedar acara sosial-budaya sehingga tidak terkait langsung dengan dasar-dasar kepercayaan Kristen. Karena itu, mereka memandang tidak ada masalah jika seorang Muslim terlibat dalam acara-acara Perayaan Natal, apa pun bentuknya. Yang penting bukan acara ritualnya, seperti mengikuti misa di Gereja, dan sejenisnya. Malah, beberapa tokoh berani menyatakan secara terbuka, bahwa mengikuti acara sejenis Perayaan Natal Bersama tidaklah apa-apa. Setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pendapatnya. Apalagi jika ia tokoh, dan pendapatnya dikutip dan disebarkan di sana-sini.
Seorang Muslim pasti meyakini, bahwa zina adalah sebuah kejahatan, meskipun dilakukan suka sama suka. Muslim pasti juga akan keberatan jika ada kampenye besar-besaran di media massa tentang bolehnya melakukan zina bagi pasangan remaja, yang penting bisa menjaga diri dari kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, tanyakan pada si Muslim, bagaimana pendapatnya jika ada kampanye besar-besaran tentang paham kemusyrikan di media massa. Bukankah dalam pandangan Islam, dosa syirik adalah dosa terbesar yang tak terampuni oleh Allah?!
Karena memandang begitu seriusnya kekeliruan paham syirik itu, maka para sahabat Nabi saw dan para ulama Islam bersikap sangat berhati-hati dalam soal kemusyrikan ini. Sebab, ini menyangkut soal iman. Jika iman rusak, maka amal perbuatan manusia tiada nilainya, laksana fatamorgana. (QS 24:39). Bagi para pemuja paham pluralisme, yang menganut pandangan kesetaraan tauhid dan kemusyrikan, maka soal iman dipandang tidak lebih penting dari soal  kemanusiaan. Sampai-sampai di zaman ini ada manusia yang berani menyatakan, bahwa meskipun kafir, yang penting ia tidak korupsi. Padahal, tidak korupsi itu baik. Tetapi, tidak korupsi menjadi tiada berarti jika ia kafir dan tidak beriman. Sebab, amalnya tiada guna, laksana debu yang dihamburkan. Sebagian lagi, ada yang berpikir sinkretis-pragmatis dengan cara mengikuti semua perayaan hari besar agama apa saja, agar dipandang sebagai manusia toleran dan diterima dimana-mana.
Terhadap gagasan mencampuradukkan Perayaan Hari Besar agama, Buya Hamka menyebutkan, bahwa tradisi mencampur-campurkan Perayaan Hari Besar Agama Bersama bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi justru menyuburkan kemunafikan. Di akhir tahun 1960-an, Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan:
“Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyu’ bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak,  baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah satu ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi.  Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”

Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.” (Lihat, buku Hamka, Dari Hati ke Hati,  (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Saat terjadi benturan dengan pemerintah dalam soal fatwa “Haram Mengikuti Perayaan Natal Bersama”,  Hamka menulis kolom berjudul ”Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?”  di rubrik “Dari Hati ke Hati” MajalahPanji Masyarakat No 324 tahun 1981. Baiklah kita kutip kembali sebagian isi tulisan Hamka tersebut:
Bolehkah orang Islam bersama orang Kristen merayakan Hari Natal? Demi kerukunan hidup beragama? Dan tentu ada orang yang ingin bertanya: Bolehkah orang Kristen-demi kerukunan hidup beragama merayakan pula hari Raya ’Idul Fitri dan Idul ’Adha dengan ummat Islam?
Kalau direnungi lebih dalam, hari Natal bagi orang Kristen ialah memperingati dan memuliakan kelahiran Yesus Kristus yang menurut kepercayaan Kristen Yesus itu adalah Tuhan dan anak Tuhan.
Dia adalah SATU dari TIGA TUHAN atau TRINITAS. Bila orang Islam turut sama-sama merayakannya, bukanlah berarti meyakini pula bahwa Yesus itu adalah Tuhan, atau satu dalam yang bertiga, atau tiga oknum dalam satu….  Sekarang keluar FATWA dari ulama-ulama, bukan dari Majelis Ulama saja, melainkan disetujui juga oleh wakil-wakil dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan perkumpulan-perkumpulan Islam lainnya, bahkan juga dari Majelis Da’wah Islam (yang berafiliasi dengan Golkar) dalam pertemuan itu timbul kesatuan pendapat bahwa orang Islam yang turut dalam perayaan Natal itu adalah mencampuradukkan ibadat, menyetujui aqidah Kristen, menyatakan Nabi Isa Almasih ’alaihissalam sebagai Tuhan.
Dan di dalam logika tentunya sudah dapat dipahami, bahwa  hadir di sana ialah menyatakan persetujuan pada ’amalan iu, apatah lagi jika turut pula membakar lilin, sebagai yang mereka bakar, atau makan roti yang menurut `aqidah Kristen jadi daging Yesus, dan air yang diminum menjadi darah Yesus! Maka orang Islam yang menghadirinya itu oleh ayat: (Barangsiapa menyatakan persetujuan dengan mereka, termasuklah dia dalam golongan mereka) (Al-Maidah: 51).
Apakah konklusi hukum dari yang demikian itu, kalau bukan haram? Maka bertindaklah ”Komisi fatwa, dari Majelis Ulama Indonesia, salah seorang ketua Al Fadhil H.Syukuri Gazali merumuskan pendapat itu dan dapatlah kesimpulan bahwa turut merayakan Hari Hatal adalah Haram!” Masih lunak. Karena kalau diperhatikan isi ayat Al-Maidah 51 itu, bukan lagi haram, bahkan kafir.
Oleh karena saat ini benar-benar mengenai aqidah, tidaklah soal ini didiamkan. Tanggung jawab sebagai ulama menyebabkan para ulama merasa berdosa kalau hal ini didiamkan saja….  Penulis teringat ketika Majelis Ulama Indonesia mulai didirikan (Juli 1975) seorang muballigh muda H. Hasyim Adnan bertanya: ”Apa sanksinya kalau pemerintah nanti tidak mau menjalankan suatu keputusan dari Majelis Ulama?”
Saya jawab: ”Tidak ada sanksi yang dapat kita pergunakan. Kita sebagai ulama hanya berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kewajiban kita di hadapan Allah hanya menyampaikan dengan jujur apa yang kita yakini. Ulama menerima waris dari Nabi-nabi. Sebab itu kita warisi juga dari Nabi-nabi itu penderitaan dan penghinaan. Sanksi orang yang menolak kebenaran yang kita ketengahkan bukanlah dari kita. Kita ini hanya manusia yang lemah. Yang memegang sanksi adalah Allah Ta’ala sendiri.” 
 Demikian cetusan hati dan pikiran Buya Hamka dalam masalah Perayaan Natal. Pada tanggal 19 Mei 1981, sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap umat, maka Buya Hamka kemudian meletakkan jabatan sebagai Ketua Umum MUI. Pada tanggal 23 Mei 1981, Buya Hamka menulis kolom Dari Hati ke-Hati di Majalah Panjimas, No. 325, yang dia beri judul Niat Yang Tulus.  Kata Hamka:   “Meskipun usia sudah 73 tahun, sedikit pun tidak terfikirkan bahwa saya telah melepaskan diri dari beban yang berat, kemudian bersantai-santai menjelang ajal. Husnul khatimah, itulah cita-cita terakhir hidup  di dunia ini.”
Begitulah penegasan Buya Hamka menjelang akhir hayatnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari beliau. Dan, yang terpenting, terjaga pula iman kita dan iman keluarga kita. Amin. (Dr. Adian Husaini, Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com).




Selasa, 23 Desember 2014

Sejarah Tahun Baru Masehi Dan Perayaan Tahun Baru Masehi

Dalam beberapa hari ke depan, tahun 2014 akan segera berganti, dan tahun 2015 akan menjelang. Ini tahun baru Masehi, tentu saja, karena tahun baru Hijriyah telah terjadi beberapa bulan  yang lalu. Bagi kita orang Islam, ada apa dengan tahun baru Masehi?
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut. 
Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih. Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus. Namun dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadobsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Kemudian Pope (Paus) Gregory III memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh Eropa, bahkan kini seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakina Kristen:”The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date”. Demikian keterangan dalam Encarta Reference Library Premiun 2005. Di jaman Romawi, pesta ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi. Seiring muncul dan berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai suatu perayaan “suci” satu paket dengan hari Natal. Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year).
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.


Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. 
Yunani, buah delima yang menurut orang yunani melambangkan kesuburan dan kesuksesan ditebarkan di pintu rumah, kantor dan took took sebagai simbol doa untuk mendapatkan kemakmuran sepanjang tahun. Italia, disalah satu kotanya, tepatnya Naples, pada pukul 00 tepat pada malam pergantian tahun, masyarakat disana akan membuang barang barang yang sudah usang dan tidak terpakai di jalanan. Spanyol, masyarakat spanyol tepat pada malam pergantian tahun akan memakan anggur sebanyak 12 biji, jumlah yang hanya 12 melambangkan harapan selama 12 bulan kedepan. Jepang, di jepang, masyarakat disana merayakan tahun barunya dengan memakan 3 jenis makanan sebagai simbol yaitu telur ikan melambangkan kemakmuran, ikan sarden asap melambangkan kesuburan tanah dan manisan dari tumbuhan laut yang melambangkan perayaan. Korea, pada malam pergantian tahun masyarakat disana menikmati kaldu daging sapi yang dicampur dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau yang biasa disebut thuck gook.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa bulan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟

“Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti cara/ jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (binatang sejenis biawak yang hidup di padang pasir), niscaya kalian akan mengikuti mereka.”

Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nashara?”

Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
[HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, lihat Al-Lu’lu Wal Marjan, hadits no. 1708]

(dari berbagai sumber).

Senin, 22 Desember 2014

Gereja di Georgia AS Tempelkan Pesan ‘Santa Adalah Setan’



Sebuah tulisan peringatan 'Santa itu setan', dipasang di Gereja Baptis Harlem.

Sebuah media milik gereja The Christian Posthari Senin (15/12/2014), menempelkan pesan pada papan tanda gereja berbunyi “Santa adalah Setan” untuk menyambut Natal 2014.
Pesan berbunyi “Santa adalah Setan” yang ditempel pada awal bulan ini dan bertujuan untuk merespon budaya ketertarikan pada Santa Klaus (Sinterklas) itu telah menimbulkan kontroversi di tingkat lokal dan nasional.
Edward Carothers, seorang pastor kepada The Christian Post mengatakan bahwa keputusan untuk menempel pesan itu datang dari para jemaatnya.
“Gereja kami memutuskan untuk menempel pesan itu setelah dibebani oleh tuhan palsu yang mengambil alih Natal,” kata Carothers.
“Kami sebagai orang yang beriman yang terlahir kembali menurut tradisi memperingati 25 Desember untuk merayakan kelahiran Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus. Selama beberapa tahun ini saya melihat semakin berkurang adegan-adegan kelahiran Tuhan tapi sebaliknya justru lebih banyak tentang Santa.”
Carothers juga mengatakan kepada The Christian Post bahwa ia yakin bahwa ketertarikan warga Amerika kepada Santa Klaus adalah sama saja dengan penyembahan kepada berhala.
“Tampaknya dari distrik-distrik dan kota-kota di AS mengklaim pemisahan antara gereja dan negara tidak memiliki masalah sama sekali dengan Santa, tetapi itu memiliki masalah besar dengan Yesus – itulah alasan memperingati Natal tahun ini,” lanjut Carothers.
Carothers mengutip sebuah karya James L. Melton yang terbit tahun 1996 berjudul “Santa Klaus dan Justifikasi Setan”, yang menyatakan bahwa, dengan memiliki beberapa karakteristik yang mirip dengan Yesus Kristus, Santa sedang dibuat oleh budaya sekuler sebagai tuhan untuk disembah.
“Kawan, jangan memuliakan setan dengan memberikan kemuliaan dan atribut milik Yesus Kristus kepada Santa Klaus! Santa adalah Tuhan Palsu,” tulis Melton.
“… Anda memuliakan setan ketika Anda mengajari anak-anak Anda untuk percaya pada Santa! Orang-orang Kristen harus mengajari anak-anak mereka kebenaran. Kita harus memuliakan Tuhan dengan mengajari anak-anak kita tentang Yesus Kristus dan sifat-sifat baik-Nya!”
Menurut media lokal, banyak penduduk Harlem yang meragukan pesan singkat yang disampaikan gereja itu.
“Itu benar-benar konyol dan ide gila,” kata Drew Pate, warga Harlem kepada WRDW News Channel 12.
Carrel Davis, direktur organisasi kepemudaan yang lokasinya berdekatan dengan Harlem United Methodist Church, kepada Margaret-Ann Carter dari WJBF mengatakan bahwa pesan itu menciptakan “penghalang.”
“Saya tidak tahu gereja itu, tetapi sejauh yang saya tahu gereja itu memasang sebuah pesan yang menurut saya itu cenderung membuat penghalang yang besar antara gereja dan masyarakat,” kata Davis.
“Anda tidak akan menem ukan di dalam Bibel bahwa mempercayai Santa Klaus itu berdosa. Saya pikir itu tidak membahayakan anak-anak. Beritahu anak-anak tentang apa yang Santa lakukan, dia seorang pemberi.”
Dalam komentarnya kepada The Christian Post, Pastor Carothers mengatakan bahwa secara umum umpan balik terhadap pesan itu “40 persen positif.”
“Saya rasa orang-orang Kristen harus mendukung iman! Bahwa kita harus mempertahankan pesan dari kelahiran Kristus! Kristus adalah karunia Tuhan bagi umat manusia,” kata Carothers.
“Orang-orang Kristen dari tahun ke tahun diusir oleh dunia, daging, dan iblis … Gereja Tuhan yang hidup itu diberdayakan! Sekarang tampaknya mundur ke jamban. Sementara dosa merajalela, gereja duduk dengan tenang dan berharap bisa pergi tanpa diketahui.”
Nah lucunya, ketika pihak gereja menolak baju Santa, kaum Muslim justru ikut-ikutan menggunakannya. (Hidayatullah.com)


“Mitos Santa Claus dan Pelestarian Penjajahan”


JAN BREMMER, dalam buku Interpretations of Greek Mythology, (London: Routledge, 1988), mencatat, bahwa meskipun masyarakat Barat sudah tersekulerkan dan membuang hal-hal yang supranatural, namun mereka tetap memelihara cerita-cerita tertentu sebagai model perilaku dan ekspresi ideal negara. Meskipun berbeda, Masyarakat Barat memiliki banyak kesamaan dengan masyarakat Yunani. Sebagaimana masyarakat Yunani, mitos-mitos juga banyak menarik bagi masyarakat Barat.(Western secularised societies have nearly abolished the supernatural, but they usually still have their favorite (historical) tales that serve as models of behavior or are the expression of the country’s ideals. It is their relevance to Greek society that makes the mythoi still fascinating today, for however different the Greeks were from us, they were also very much the same).

MUI: “Bung Karno Larang Atribut Sinterklas”

Presiden Pertama RI Larang Sinterklas-1-jpeg.image
Soekarno (Bung Karno), Presiden Pertama RI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai, krisis kepemimpinan Islam yang dirasakan Indonesia disebabkan pemimpin dan tokoh nasional yang ada tidak mampu berdiri sendiri dan menggantungkan banyak hal kepada asing.
Wakil Sekjen MUI, Tengku Zulkarnain menegaskan, Indonesia  memerlukan pemimpin yang menjadi figur tegaknya agama di negeri ini. Namun, yang terjadi saat ini adalah pemimpin mengenyampingkan agama.
“Kalau kita lihat begini. Dulu Bung Karno, beliau bisa mengajak rakyat melawan kapitalisme dan budaya Barat. Melarang atribut sinterklas tahun 1957, melarang Cina untuk berjualan ke desa, dan membuat (masjid) Istiqlal,” ujar Tengku di Jakarta kepada Republika, Ahad (21/12).
Dia melanjutkan, Soeharto juga termasuk pemimpin yang tegas dan menjaga kerukunan umat antaragama. “Pak Harto melarang dakwah pada orang yang beda agama agar tidak terjadi konflik. Keluarkan SKB (surat keputusan bersama) tiga menteri. Pemimpin sekarang hampir-hampir tidak ada. Padahal pemimpinnya orang Islam,” katanya.
Agar krisis kepemimpinan Islam di Indonesia dapat teratasi, saran dia, diperlukan peran partai politik dalam menghasilkan kader muda yang istiqomah dengan agama dan mampu mandiri. Tengku meminta agar tokoh nasional yang sudah senior untuk memunculkan kader muda yang potensial dan jangan menganggap kader muda sebagai saingan.
“Saya yakin kalau ulama berhasil mengkader, anak-anak mudanya menjadi ulama jempolan. Kenapa parpol tidak bisa juga,” katanya. (Republika Online)

Minggu, 21 Desember 2014

Hukum Natal


Artikel ini dibuat oleh penulisnya sejak beberapa tahun yang lalu dengan judul : SYUBHAT NATAL. Dan telah dimuat di Web Resmi FPI yang kemudian disebar-luaskan oleh aneka Situs Islam lainnya.  Bahkan sudah dibuat rekaman Audio Videonya disertai dengan presentasr melalui tayangan slide power point secara apik dan rinci serta ilmiah. Berikut isi artikel lengkapnya :
Pada tanggal 1 Jumadil Ula 1401 H / 7 Maret 1981 M, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Natal Bersama yang intinya bahwa mengikuti Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya HARAM, dengan hujjah antara lain: Surat Al-Kaafiruun 1 – 6, Surat Al-Baqarah : 42, Hadits Nu’man ibnu Ba’syir tentang Syubhat, dan Kaidah Ushul “Dar’ul Mafaasid Muqaddamun ‘alaa Jalbil Mashaalih” (Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil mashlahat).
Ketika itu, Rezim yang berkuasa tidak suka terhadap Fatwa MUI tentang Natal Bersama, karena dianggap anti toleransi dan bertentangan dengan semangat pluralisme. Lalu MUI dipaksa untuk mencabut Fatwanya, tapi almarhum Buya Hamka selaku Pimpinan MUI kala itu lebih suka meletakkan jabatannya daripada menarik kembali Fatwa tersebut, demi untuk menjaga aqidah umat Islam.
Belakangan, tampil sejumlah “Tokoh Islam” yang menggulirkan “Fatwa” bahwa Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya BOLEH, dengan menyampaikan sejumlah argumentasi yang tidak lepas dari MANIPULASI HUJJAH dan KORUPSI DALIL. Fatwa Kontroversial mereka tersebut sangat digandrungi oleh KAUM SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme), bahkan dijadikan Rujukan Utama hingga kini. Fatwa Aneh tersebut telah menebar SYUBHAT yang melahirkan FITNAH di tengah umat Islam.
Syubhat Natal adalah pemutar-balikkan ayat mau pun hadits untuk "menyamarkan" hukum Natal yang sebenarnya sudah jelas keharamannya, sehingga Natal Haram diupayakan menjadi Natal Halal, sekurangnya menjadi Natal Syubhat. Berikut beberapa Syubhat Natal dan jawabannya :
1. SYUBHAT PERTAMA :
Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang bercerita tentang Nabi ‘Isa as sekaligus menjadi hujjah bahwa umat Islam wajib mencintai, menghormati dan mengimani beliau sebagai salah seorang Rasul. Bahkan dalam Surat Maryam : 33, Allah swt menceritakan ucapan Nabi ‘Isa as yang berbunyi : “Wassalaamu ‘alayya yauma wulidtu wa yauma amuutu wa yauma ub’atsu hayyan” (Keselamatan atasku di hari aku dilahirkan dan hari aku mati serta hari aku dibangkitkan dalam keadaan hidup).
Dengan dasar itu semua, maka merayakan dan saling mengucapkan selamat atas kelahiran Nabi ‘Isa as menjadi sejalan dengan semangat Al-Qur’an, sekaligus menjadi bukti cinta, hormat dan iman kita kepada Nabi ‘Isa as.
JAWABAN :
Iman kepada Para Rasul merupakan salah satu Rukun Iman. Dan Nabi ‘Isa as merupakan salah satu Rasul yang wajib diimani. Mengekspresikan cinta dan hormat serta iman kepada Nabi ‘Isa as yang paling utama adalah dalam bentuk memposisikan beliau sebagai Hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menolak segala bentuk PENUHANAN terhadap dirinya. Jadi, pengekspresian tersebut tidak mesti dengan memperingati Hari Lahirnya.
Andaikata pun kita ingin merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as dengan dasar ayat 33 Surat Maryam, maka kita akan kesulitan menentukan tanggalnya, karena tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi saw atau Atsar dari Shahabat, Tabi’in mau pun Tabi’it Tabi’in, yang menginformasikan tentang tanggal kelahiran Nabi ‘Isa as.
2. SYUBHAT KEDUA :
Dalam Hadits Muttafaqun ‘Alaihi yang bersumber dari Sayyiduna ‘Abdullah ibnu Sayyidina ‘Abbas ra diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah menerima  informasi dari Yahudi tentang Kemenangan Nabi Musa as di Hari ‘Asyura (10 Muharram), lalu Nabi saw dan para Shahabatnya merayakan Kemenangan Musa as di hari itu dengan berpuasa.
Jika Nabi saw menerima INFO YAHUDI tentang tanggal bersejarah 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as lalu merayakannya, maka tidak mengapa kita menerima INFO NASHRANI tentang tanggal bersejarah 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi ‘Isa as dan merayakannya pula.
JAWABAN :
Dalam Hadits Muttafaqun ‘Alaihi yang lain bersumber dari Sayyidatuna ‘Aisyah ra menerangkan bahwa Puasa ‘Asyura sudah dilakukan masyarakat Quraisy sejak zaman Jahiliyyah, dan di zaman permulaan Islam menjadi Puasa Wajib hingga diwajibkan Puasa Ramadhan di tahun kedua Hijriyyah.
Jadi, Puasa Nabi saw di Hari ‘Asyura bukan meniru-niru perbuatan Yahudi. Apalagi dalam sebuah Hadits Shahih disebutkan tentang niat dan anjuran Nabi saw buat umatnya agar juga Puasa Tasu’a (9 Muharram) untuk membedakan Puasa Umat Islam dengan Puasa Yahudi di hari ‘Asyura.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa tuntunan Nabi saw adalah tidak meniru-niru perbuatan kaum kafirin, apalagi dalam sebuah Hadits lainnya beliau saw menegaskan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian darinya.
Memang, sikap Nabi saw yang diartikan sebagai bentuk perayaan terhadap Hari Kemenangan Nabi Musa as bisa dijadikan dalil pembenaran syar’i bagi perayaan Hari Bersejarah seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi ‘Isa as. Namun itu tidak boleh dijadikan dalil pembenaran syar’i bagi tanggal 25 Desember sebagai Hari Kelahiran Nabi ‘Isa as. Apalagi dijadikan dalil buat meniru-niru Nashrani dalam merayakan Natal.
Penerimaan Nabi saw terhadap INFO YAHUDI tentang tanggal 10 Muharram sebagai Hari Kemenangan Nabi Musa as menjadi PEMBENARAN SYAR’I bagi info tersebut, karena Sunnah Nabi saw adalah sumber hukum Islam yang autentik setelah Al-Qur’an. Artinya, info itu menjadi benar bukan karena datangnya dari Yahudi, tapi karena DIBENARKAN oleh Nabi saw.
Sedang INFO NASHRANI tentang tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi ‘Isa as tidak memiliki PEMBENARAN SYAR’I sama sekali, sehingga tidak bisa dibenarkan.
3. SYUBHAT KETIGA :
Ada Hadits Rasulullah saw yang membolehkan umat Islam menyampaikan berita yang berasal dari Ahlul Kitab. Karenanya, jika Nashrani di seantero dunia sudah sepakat merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa pada tanggal 25 Desember, maka itu bisa menjadi bagian berita Ahlul Kitab yang boleh kita terima.
JAWABAN :
Memang, ada Hadits tentang kebolehan menyampaikan berita Ahlul Kitab, tapi ada Hadits juga yang mengarahkan umat Islam agar tidak mempercayai (membenarkan) dan tidak pula mendustakan (menyalahkan) berita Ahlul Kitab.
Maksud berita Ahlul Kitab adalah segala info yang datang dari Kitab-kitab suci atau Doktrin Asli ajaran agama Yahudi dan Nashrani. Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengklasifikasikan berita Ahlul Kitab menjadi tiga katagori, yaitu :
  • a. Info yang dibenarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib diterima,
  • b. Info yang ditentang Al-Qur’an dan As-Sunnah maka wajib ditolak.
  • c. Info yang tidak dibenarkan dan tidak pula ditentang Al-Qur-an dan As-Sunnah maka wajib tawaqquf, yaitu tidak menerima dan tidak juga menolak.
Lalu, berita Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember masuk katagori berita Ahlul Kitab yang mana ? Atau bahkan tidak termasuk katagori yang mana pun ?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat terlebih dahulu tentang Hari Lahir Nabi ‘Isa as dalam Bibel. Berikut DATA BIBEL tentang Kelahiran Nabi ‘Isa as :
A. Lukas 2 : 4 – 7
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Sayyidatuna Maryam as saat hamil tua bermusafir ke Yerusalem, setibanya disana ia tidak mendapatkan penginapan karena semuanya sudah penuh terisi, sehingga ia melahirkan di palungan (tempat jerami).
Lalu dalam Lukas 2 : 41 ada keterangan bahwa setiap tahun Orang tua Nabi ‘Isa as datang mengunjungi Yerusalem di Hari Raya Paskah yaitu Hari Raya Bani Israil yang jatuh pada awal musim gugur. Itulah sebabnya, walau hamil tua Sayyidatuna Maryam as tetap musafir karena pentingnya Hari Raya tersebut, dan itu pula sebabnya semua penginapan penuh karena di Hari Raya tersebut semua Bani Israil mendatangi Yerusalem.
Artinya, menurut DATA BIBEL bahwa Nabi ‘Isa as  lahir di awal musim gugur, dan itu tentu bukan bulan Desember melainkan awal Sepetember.
B. Lukas 2 : 8 – 11
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa di malam kelahiran Nabi ‘Isa as, di sekitar Yerusalem para gembala sedang menjaga kawanan ternaknya di padang terbuka.
Dan dalam Ezra 10 : 9 – 13 serta Kidung Agung (Nyanyian Solomon) 2 : 9 – 11, ada keterangan bahwa di musim hujan / dingin semua ternak disimpan dalam kandang dan semua manusia berada di rumah, tidak keluar tanpa keperluan yang mendesak, karena mereka tidak sanggup menahan dingin di luar rumah.
Dengan demikian, DATA BIBEL ini pun menunjukkan bahwa saat Nabi ‘Isa as dilahirkan bukan musim hujan / dingin / salju, karena manusia dan ternak masih sanggup di padang terbuka pada malam hari.
Artinya, Nabi ‘Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, karena Desember di Yerusalem musim hujan dan hawa sangat dingin, bahkan sering turun salju, sehingga tidak mungkin ada rombongan gembala pada malam hari menjaga kawanan ternak di padang terbuka.
C. I Tawarikh (Chronicle) 24 : 10 dan Lukas 1 : 5 – 38
Ayat-ayat ini menginformasikan bahwa Nabi Zakaria as dan rombongannya dalam kelompok Abia mendapat tugas menjaga Rumah Tuhan pada giliran ke delapan, dan itu menurut Kalender Hebrew jatuh pada tanggal 27 Iyar – 5 Sivan, atau bertepatan dengan tanggal 1 – 8 Juni (Awal Juni). Lalu ketika tugas itulah Nabi Zakaria as mendapat wahyu tentang kehamilan istrinya yang kelak akan melahirkan Nabi Yahya as.
Artinya, 9 bulan setelah tugas itu menurut masa kehamilan normal maka Nabi Yahya as dilahirkan, yaitu awal Maret. Kemudian diinformasikan bahwa usia Nabi ‘Isa as 6 bulan lebih muda daripada Nabi Yahya as. Maknanya, jika Nabi Yahya as dilahirkan awal Maret maka Nabi ‘Isa as dilahirkan 6 bulan sesudahnya, yaitu Awal September.
Dengan demikian DATA BIBEL di atas juga menginformasikan bahwa Nabi ‘Isa as tidak dilahirkan bulan Desember.
Seorang Pastur dari Gereja Wolrdwide Church of God di Amerika Serikat, Herbert W. Armstrong (1892-1986), dalam bukunya yang berjudul The Plain Truth About Christmas menyatakan bahwa Nabi ‘Isa as tidak dilahirkan bulan Desember, dan Perayaan Hari Raya Natal bukan ajaran asli gereja, melainkan bersumber dari ajaran paganisme (penyembah berhala) yang sejak lama, jauh sebelum kelahiran Nabi ‘Isa as, telah merayakan Hari Kelahiran Dewa Mithra sebagai Dewa Matahari mereka pada tanggal 25 Desember.
Pendapat Pastur Herbert tersebut sejalan dengan keterangan dalam Encyclopedia Britannica dan Encyclopedia Americana. Kedua Literatur tersebut mendefinisikan Natal sama seperti pernyataan Pastur Herbert di atas.
Pada tahun 1993, seorang Astronom Inggris, David Hughes dari Universitas Sheffield, dalam sebuah wawancara dengan Britain’s Press Association (BPA), yang dikutip oleh Kantor Berita Reuter, menyatakan bahwa Nabi ‘Isa as diduga kuat lahir pada tanggal 15 September 7 tahun sebelum Masehi, karena pada tanggal tersebut terjadi siklus pertemuan 840 tahunan sekali antara planet Yupiter dan Saturnus, yang dari permukaan Bumi terlihat bagai Bintang Terang yang langka. Menurutnya, itulah Bintang Terang yang terlihat di malam kelahiran Nabi ‘Isa as sebagaimana diinfokan Bibel dalam Matius 2 : 1 -12.
Selain itu, tercatat dalam beberapa literatur sejarah Nashrani, bahwa tiga abad pertama Masehi tidak ada umat Nashrani yang merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as. Dan awal abad keempat Masehi, perayaan tersebut mulai muncul di tengah umat Nashrani, tapi pada tanggal yang berbeda-beda, seperti 6 Januari, 28 Maret, 18 April dan 28 Juni.
Baru pada tahun 354 M, Paus Liberius di Roma memutuskan tanggal 25 Desember sebagai Hari Lahir Nabi ‘Isa as. Keputusan itu diikuti oleh Gereja Roma di Konstantinopel pada tahun 375 M dan di Antakia pada tahun 387 M. Selanjutnya menyebar ke seluruh dunia hingga saat ini.
Kesimpulannya, Data Bibel dan Data Astronomi serta Literatur Kristiani lainnya menolak kemungkinan Kelahiran Nabi ‘Isa as pada bulan Desember, sehingga INFO NASHRANI tentang kelahiran Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember adalah info yang tidak termasuk dalam katagori berita Ahlul Kitab, karena Bibel sendiri menolak. Info tersebut adalah INFO FIKTIF yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara Syar’I mau pun secara ilmiah akademis.
4. SYUBHAT KEEMPAT :
Pada prinsipnya, umat Islam boleh KAPAN SAJA merayakan Hari Kelahiran seorang Nabi atau Rasul, termasuk Hari Lahir Nabi ‘Isa as, untuk memuliakan mereka para Utusan Allah SWT. Maka, tidak ada masalah memperingati Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember atau tanggal lainnya, walau pun tanggal Lahir Nabi ‘Isa as masih diperdebatkan kalangan Kristiani sendiri.
Hanya saja, peringatan Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember lebih tepat untuk membangun toleransi antar umat beragama dalam rangka menyuburkan keharmonisan hubungan Islam – Nashrani.
JAWABAN :
Justru, merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as bersamaan dengan umat Nashrani pada tanggal 25 Desember menjadi MAZHONNATUL FITAN (sumber fitnah) yang sangat berbahaya, antara lain :
  • a. Justifikasi kebohongan umat Nashrani dalam penetapan tanggal Hari Lahir Nabi ‘Isa as.
  • b. Justifikasi kesesatan keyakinan umat Nashrani yang merayakan Natal sebagai Hari Lahir Nabi ‘Isa as sebagai ANAK TUHAN.
  • c. Membuat BID’AH DHOLALAH karena merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as dengan dasar INFO FIKTIF NASHRANI.
  • d. Pencampur-adukkan aqidah haq dengan bathil.
  • e. Menjerumuskan kalangan awam dari umat Islam yang kebanyakan lemah iman.
  • f. Pelecehan terhadap kemuliaan Nabi ‘Isa as, karena Hari Lahirnya dirayakan dengan Data Dusta, ditambah lagi dibarengi dengan umat Nashrani yang merayakannya sebagai Hari Lahir Anak Tuhan.
Dengan demikian, merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as pada tanggal 25 Desember bukan bentuk toleransi antar umat beragama, tapi bentuk pencampu-adukkan aqidah yang sangat dilarang dalam Islam.
Dan itu tidak akan menyuburkan keharmonisan hubungan antar Islam – Nashrani, tapi akan menyuburkan PENDANGKALAN AQIDAH yang bisa mengantarkan kepada pemurtadan.
Sikap umat Islam yang tidak mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Natal, dan ikut menjaga kondusivitas suasana dalam masa Natal dan Tahun Baru, serta memberi kesempatan kepada mereka merayakannya secara semarak di berbagai tempat, mulai dari Gereja, Pabrik, Kantor hingga Istora Senayan, sebenarnya sudah LEBIH DARI CUKUP sebagai bentuk toleransi mayoritas Muslim kepada minoritas Nashrani di negeri Indonesia tercinta ini.
5. SYUBHAT KELIMA :
Andai pun umat Islam tidak merayakan Hari Lahir Nabi ‘Isa as bersama umat Kristiani pada tanggal 25 Desember, karena khawatir terganggunya aqidah. tapi setidaknya tidak mengapa sekedar mengucapkan SELAMAT NATAL kepada mereka untuk penghormatan dan maslahat pergaulan.
Apalagi bagi Tokoh Islam yang jelas sudah mantap aqidahnya dan diperlukan pemantapan hubungan pergaulan Lintas Agamanya, sehingga kekhawatiran semacam itu tidak perlu ada sekaligus tidak lagi menghalangi Tokoh Islam dalam meningkatkan Dakwah Lintas Agama.
JAWABAN :
Natal secara Etimologi adalah Hari Lahir. Dan secara Terminologi adalah Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan, sebagaimana ditulis oleh berbagai Ensiklopedi. Dan sebutan HARI NATAL hanya digunakan dalam makna Terminologi.
Artinya, jika seseorang mengucapkan SELAMAT NATAL maka sesuai makna Terminologinya berarti mengucapkan “Selamat Hari Lahir Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan”. Dan itu jelas haram bagi umat Islam.
Jika seorang Muslim terlanjur mendapat ucapan Selamat Natal dari siapa pun, maka mesti dijawab dengan Surat AL-IKHLASH yang berintikan Keesaan Allah SWT yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.
Syariat Islam buat semua lapisan umatnya, Ulama dan Awam, Pejabat dan Rakyat, Kaya dan Miskin. Karenanya, apa pun yang menjadi MAZHONNATUL FITAN diharamkan, baik bagi yang imannya kuat, apalagi yang imannya lemah. Lebih-Iebih jika Mazhonnatul Fitannya menyangkut aqidah sebagaimana telah diuraikan tadi.
Bukankah memandang wanita yang tidak halal, apalagi berjabat-tangan dengannya, diharamkan bagi laki-laki, termasuk Rasulullah saw sekali pun, karena hal itu merupakan Mazhonnatul Fitan yang bisa menggerakkan syahwat dan mengundang fitnah.
Padahal kita sama tahu dan yakin bahwa IMAN dan TAQWA Rasulullah saw adalah yang terkuat dan terbaik, sehingga syahwat beliau saw tidak akan terpancing hanya dengann memandang atau berjabat-tangan dengan wanita mana pun yang tidak halal baginya, namun sungguh pun demikian beliau saw tidak mau melakukannya karena Mazhonnatul Fitan yang wajib dihindarkan.
Karenanya, tidak ada alasan bagi Tokoh Islam untuk menghalalkan Natal dengan dalih asal aqidah kuat. Bahkan ketokohan mereka semestinya membuat mereka lebih hati-hati dalam bersikap, karena mereka adalah teladan yang akan diikuti umat yang kebanyakan beraqidahkan lemah. Sikap Tokoh Islam yang mengikuti Natal jelas bisa menjerumuskan umat.
KESIMPULAN :
Umat Islam hukumnya HARAM merayakan Natal dalam bentuk apa pun, baik ucapan Selamat Natal, atau pun saling berbagi Hadiah Natal, atau juga memakai Atribut Natal, mau pun mengirim Kartu Natal, atau memajang Pohon Natal, apalagi mengikuti Misa Natal.
Selain itu, umat Islam juga hukumnya HARAM mengganggu umat Nashrani dalam merayakan Hari Natal mereka.
Ayo, bangun Toleransi antar umat beragama, tanpa mencampur-adukkan Aqidah dan Syariat.
Wallaahul Musta'aan.
Penulis: Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc, MA