Senin, 16 Maret 2015

SHALAHUDDIN AL-AYYUBI, INSPIRASI SINGA PADANG PASIR



Karena ketangguhannya, dia dikenal sebagai ‘Singa Padang Pasir’. Seisi Kota al-Quds, pada tahun 1187, menyambut sang penakluk yang baru saja memasuki gerbang kota dengan suasana riuh. Setelah pengepungan kota beberapa pekan lamanya, umat Muslim akhirnya sukses membebaskan kota suci itu.
Dialah Salahuddin Al-Ayyubi, atau dunia Barat mengenalnya dengan nama Saladin. Dia adalah sultan dari kekhalifahan Muawiyah di Mesir bersama pasukannya menerobos kerumunan penduduk Yerusalem yang mengelu-elukannya.
Di balik jubah perangnya, melegenda sebuah jiwa ksatria yang dihormati oleh raja-raja. Ia pembebas kota suci Yerusalem dari bangsa Nasrani sekaligus pelindung setiap nyawa musuh-musuh yang ditundukkannya.
Salahuddin Al-Ayyubi, adalah sultan penakluk terbesar yang pernah dimiliki umat Islam sepanjang sejarah. Untuk mengenalnya lebih dekat, mari kita singkap sejarahnya.
Sosok Sang Panglima
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi bisa dibilang pahlawan dan panglima Islam yang besar. Pada pribadinya terkumpul sifat-sifat berani, wara’, zuhud, khusyu’, pemurah, pemaaf, sabar, tawadhu, tegas dan sifat terpuji lainnya. Para ulama dan penulis sejarah telah memberikan pujian yang melangit. Sifat pemurah dan pemaafnya diakui oleh lawan maupun kawan.
Seorang penulis sejarah mengatakan, “Hari kematiannya merupakan kehilangan besar bagi agama Islam dan kaum Muslimin, karena mereka tidak pernah menderita semenjak kehilangan keempat Khalifah yang pertama (Khulafaurrasyidin).
Istana, kerajaan dan dunia diliputi oleh wajah-wajah yang tertunduk, seluruh kota terbenam dalam duka cita, dan rakyat mengikuti keranda jenazahnya dengan tangisan dan ratapan.”
Sultan Shalahuddin adalah seorang pahlawan yang menghabiskan waktunya dengan bekerja keras siang dan malam untuk Islam. Hidupnya sangat sederhana, minumnya hanya air putih, makanannya sederhana, pakaiannya dari jenis yang kasar. Ia sentiasa menjaga waktu-waktu shalat dan mengerjakannya secara berjamaah.
Satu sumber mengatakan sepanjang hayatnya ia tak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Bahkan ketika sakit yang membawa pada ajalnya, ia masih tetap mengerjakan solat berjamaah. Ia juga senang mendengarkan bacaan Al Quran, hadis dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang hadis, ia mendengarkan setiap hadis yang disampaikan secara teratur, sehingga ia faham sekali jenis hadis. Hatinya sangat lembut dan pemurah, sering menangis bila mendengarkan hadis.
Di dalam buku The Historians’ History of the World disebutkan sifat-sifat Shalahuddin sebagai berikut, “Keberanian dan keberhasilan Sultan Shalahuddin itu terjelma seluruhnya pada perkembangan keperibadian yang luar biasa. Sama seperti halnya dengan Emir Imamuddin Zanki dan Emir Nuruddin Zanki, ia juga merupakan seorang Muslim yang taat.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Sultan Shalahuddin membacakan Kitab Suci Al Quran kepada pasukannya menjelang pertempuran berlangsung.
Ia juga sangat disiplin mengqadla setiap puasanya yang tertinggal dan tidak pernah lalai mengerjakan shalat lima waktu secara berjamaah sampai pada akhir hayatnya. Memakai pakaian yang terbuat dari bulu yang kasar, dan mengizinkan dirinya untuk dipanggil ke depan pengadilan. Beliau mengajar sendiri anak-anaknya mengenai agama Islam….”
Seluruh kaum Muslimin terpukul berat dengan kewafatannya. Seluruh kaum Muslimin yang yang menyaksikan kewafatannya meneteskan air mata. Shalahuddin memiliki kekuasan yang luas, terbentang dari Asia hingga ke Afrika.
Namun, saat wafat, ia hanya meninggalkan warisan 1 dinar dan 36 dirham. Tidak meninggalkan emas, tidak punya tanah atau kebun. Padahal ia berkhidmat pada kerajaan berpuluh tahun dan memegang jabatan sebagai panglima perang. Kain yang dipakai untuk kafannya adalah betul-betul dari warisannya yang halal dan sangat sederhana.
Anaknya bernama Fadhal masuk ke liang lahat meletakkan jenazah ayahnya. Dikatakan, bahwa Shalahuddin dimakamkan bersama dengan pedangnya yang digunakan dalam setiap peperangan agar dapat menjadi saksi dan dijadikannya tongkat kelak pada hari kiamat.
Tempaan di Medan Jihad
Salahuddin lahir di Tikrit, di tepi sungai Tigris, Irak pada tahun 1137. Keluarganya berasal dari suku Kurdi. Ia dibesarkan di sebuah keluarga birokrat terpandang di kekhalifahan Islam di Irak. Sultan Zengi di Suriah menunjuk ayahnya yang piawai di pemerintahan dan diplomasi sebagai gubernur Kota Baalbek.
Bernama asli Salah al Din Abu ‘l-Muzaffer Yusuf ibn Ayyub ibn Shadi. Salahuddin menghabiskan masa kecilnya di Baalbek dan Damaskus. Saat ia berusia enam tahun, kaum Muslim sedang dalam masa peperangan dengan bangsa Nasrani. Meski situasi tak menentu, ia tetap ditempa ayahnya untuk menguasai sastra, ilmu kalam, menghafal Al Quran dan ilmu hadis di madrasah.
Pada usia 24 tahun, Salahuddin telah menikah dan ditarik pamannya, Shirkuh yang menjabat sebagai seorang militer senior di Kota Aleppo ke dalam divisi militernya. Dunia kemiliteran semakin akrab dengannya setelah Sultan Nurrudin menempatkan ayahnya sebagai kepala divisi di Damaskus.
Pada umur 26 tahun, Salahuddin menjadi asisten pamannya dalam memimpin pasukan Muslim yang berhasil memukul mundur pasukan Salib dari perbatasan Mesir dan Aleppo. Bakat kepemimpinan dan militernya diendus oleh Sultan Nurrudin. Pada 1169, ia diangkat sebagai wazir atau panglima gubernur menggantikan mendiang pamannya.
Meski punya ayah dan paman yang telah makan asam garam, mentor utama Salahuddin justru Sultan Nurrudin. Sultan Nurrudin adalah penguasa Muslim pertama yang berjihad melawan pasukan Salib dan berhasil membangun peradaban Islam.
Tiga tahun kemudian, Shalahuddin menjadi penguasa Mesir dan Suriah menggantikan Sultan Nurrudin yang wafat. Artinya, pada usia yang masih sangat muda sebelum usia 30 tahun. Impiannya untuk mempersatukan kawasan Muslim tercapai pada September 1174. Salahuddin berhasil merebut kembali Yerusalem pada usia 45 tahun.
Ia telah menjadi orang paling berpengaruh di dunia Islam. Selama kurun waktu 12 tahun, ia berhasil mempersatukan Mesopotamia, Mesir, Libya, Tunisia, wilayah barat jazirah Arab dan Yaman di bawah kekhalifahan Ayyubiyah. Kota Damaskus di Suriah menjadi pusat pemerintahannya.
Ibroh Kisah
Pertama, Bekerja Keras Tak Kenal Waktu. Bekerja keras tak kenal waktu di sini maksudnya tak ada waktu untuk bersantai ria, sehingga waktu terbuang sia-sia. Lihatlah, Shalahuddin bekerja keras siang malam untuk Islam dan Muslimin. Buah kerja kerasnya pun menghasilkan.
Saat usia 24 tahun ia sudah menikah. Tentu menikah di usia muda bukan keputusan mudah. Saat usia 26 tahun, ia sudah menjadi asisten pamannya untuk memimpin kaum Muslimin berperang melawan musuh. Saat usia 45 tahun, ia berhasil merebut Yerusalem. Sebuah prestasi yang spektakuler.
Kedua, Penuh Kesederhanaan (tidak glamour). Kekuasaannya terbentang luas dari Asia hingga ke Afrika. Namun saat wafat, Shalahuddin Al Ayyubi tidak meninggalkan emas, tidak punya tanah atau kebun. Bahkan warisannya hanya 1 dinar dan 36 dirham. Padahal berkuasa atas kerajaan selama berpuluh tahun dan memegang jabatan sebagai panglima perang dan Menteri Besar.
Kain yang dipakai untuk kafannya adalah betul-betul dari warisan beliau yang jelas-jelas halal dan sangat sederhana. Tak dipungkiri, kesederhanaan seseorang ternyata tidak membuat orang itu menjadi terhina di hadapan orang lain. Justeru kesederhanaan yang dibalut dengan keimanan akan melahirkan kemuliaan dan harga diri yang tinggi.
Ketiga, Ketaatan Yang Luar Biasa. Kesuksesan tidak pernah lepas dari bagaimana ketaatan yang dibangun pada Allah Ta’ala. Sukses adalah kehendak Allah. Karena itu, membangun ketaatan menjadi modal mutlak bagi setiap Muslim untuk meraih kesuksesan dunia akhirat. Shalahuddin senantiasa menjaga shalat lima waktu dan mengerjakannya secara berjamaah.
Membangun ketaatan kepada Allah dalam ibadah-ibadah fardhu dan sunah plus keterkaitan hati kepada-Nya adalah pondasi dasar bangunan keimanan seorang hamba untuk meraih sukses. Tanpa adanya pondasi ini, tidak berguna tinggi ilmu, canggihnya manajemen, optimalnya ikhtiar atau melimpahnya kekayaan. Semuanya akan berujung pada bencana dan keputusasaan.
Keempat, Akhlak Mulia Pangkal Kebesaran. Akhlaknya yang mulia dan agung tiada yang menandingi. Lihat bagaimana ia mengobati panglima musuh. Akhlak mulia sebagaimana kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah puncak dan bukti dari keimanan seseorang.
Siapa pun kita, betapa pun tinggi titel dan jabatan, berapa pun melimpahnya harta kekayaan, maka taka ada gunanya bila tak berakhlak mulia. Semua kelebihan itu akan menjadi sia-sia bila melekat pada orang yang berakhlak tak mulia.
Kelima, Senantiasa Menuntut Ilmu. Tak merasa puas dengan apa yang sudah dikuasai merupakan modal bagi seseorang untuk meraih sukses. Dengan menuntut ilmu berarti semakin banyak yang dipahami. Ilmu adalah harta yang tak ternilai disbanding dunia beserta isinya.
Lihat bagaimana Shalahuddin selalu membacakan Al Quran beberapa saat sebelum perang di depan ribuan pasukannya. Ia sangat memahmi bahwa Al-Quran adalah sumber dari segala ilmu pengetahuan dan sumber dari segala motivasi tertinggi dari Allah yang maha perkasa. Bagaimana dengan kita? Apakah kita di akhir zaman ini lebih senang mendengarkan musik-musik yang tak menambah keimanan? Semoga kita bisa banyak belajar dari seorang pahlawan besar Islam, Shalahuddin Al-Ayubi. (mirajnews.com)

0 komentar:

Posting Komentar