Rabu, 12 November 2014

HABIB ALI AL-HABSYI KWITANG (Mata Air Ilmu di Tanah Betawi)



Sebutlah nama Habib Ali Kwitang dihadapan ulama atau ustadz di Jakarta. Pastilah kesan takzim akan muncul seketika. Sebagian mereka bahkan akan langsung melafalalkan surat al-Fatihah sebagai doa bagi beliau.


Guru dari para kyai itu sebagian besar terkait dengan ulama besar yang masyhur dengan Majelis Kwitang berusia lebih dari seabad itu. Kaitan yang bersifat sangat emosional, suci, serta berada dalam tali indah dakwah dan ukhuwah islamiyyah, karena kaitannya terhubung dengan ajaran tauhid untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Almarhum KH. M. Syafi’i Hadzami, ulama besar Betawi generasi belakangan, pernah bercerita bahwa ia tak pernah mangkir sekalipun dri Majelis Taklim Kwitang yang diadakan Habib Ali disetiap Minggu pagi. Ketika KH Syafi’i Hadzami selesai menulis sebuah kitab berjudul Hujjatul Bayyinah, Habib Ali lah yang ia mintakan rekomendasikan atas karya itu. Habib Ali waktu itu memuji karya tersebut bahkan memberikan hadiah Al-Qur’an, tasbih dan sejumlah uang sebagai apresiasi atas pencapaian muridnya.
Tak hanya KH Syafi’i Hadzami, banyak ulama masyhur Betawi lain pernah mengaji kepada Habib Ali atau setidaknya pernah menghadiri taklim beliau di Kwitang. Beberapa nama yang bisa disebut adalah KH. Abdullah Syafi’i , KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun, KH Hasbialloh, Kh Ahmad Zayadi Muhajir, KH Achmad Mursyidi dan Syekh Muhammad Muhajirin Amsar Ad-Dary dari Bekasi. Nama-nama ini kemudian mendirikan perguruan Islam sendiri, yang kemudian melahirkan banyak ulama serta pendakwah Islam yang menyebar seantero Jakarta dan sekitarnya, bahkan daerah lainnya di nusantara.
Habib Ali al-Habsyi adalah putera dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi dan ibunya Nyai Salmah. Ketika akan melahirkan Habib Ali, Nyai Salmah bermimpi menggali sumur yang mengeluarkan air meluap dan membanjiri sekelilingnya. Habib Abdurrahman yang mendengar mimpi istrinya segera menemui Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih, meminta pendangan. ”Kamu akan mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya melimpah-limpah keberkatannya” ujar Habib Ahmad ketika itu. Minggu tanggal 20 Jumadil’Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 Nyai Salmah melahirkan seorang putera yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman al- Habsyi.
Hadramaut dan Mekkah
Umur 10 tahun, Habib Ali harus kehilangan ayah tercintanya. Sang ayah berwasiat kepada ibunya agar mengirim Habib Ali belajar ke Hadramaut (Yaman) dan Mekkah. Karena tidak memiliki uang, Nyai Salmah menjual satu–satunya gelang yang ia miliki untuk biaya perjalanan putranya. Gelang itulah yang membawa Habib Ali naik kapal laut mengarungi samudra menuju tanah Arab. Pikiran muda dan jernih milik Habib Ali dimaksimalkan sepenuhnya untuk belajar ilmu Allah. Sadar bukan berasal dari kalangan orang mampu, Habib Ali menyambi belajar dengan menggembala kambing untuk membiayai studinya. Beliau mengaji dengan tekun kepada ulama-ulama Hadramaut, lalu dilanjutkan ke Mekkah.
Belajar sekitar 6 tahun, Habib Ali kembali ketanah air. Ia melanjutkan belajar nya kepada ulama lain di Indonesia seperti Habib Utsman bin Yahya (mufti Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Di Kwitang, Habib Ali mulai membuka taklimnya sendiri yang menurut catatan sudah ia gelar sejak tahun 1920. Ia juga membangun masjid di Kwitang yang dinamakan Masjid Ar-Riyadh. Ia juga membangun madrasah yang dinamakan Unwatul Falah disamping masjid tersebut. Luas tanah sekitar 1500 meter persegi yang disewa dengan harga 25 rupiah perbulan. Majelis Kwitang makin hari makin terkenal. Setiap Minggu pagi kawasan yang terletak dekat pasar Senen itu didatangi puluhan ribu jamaah dari berbagai pelosok Jakarta, Depok, Bogor, Sukabumi dan lain-lain.
Tak hanya ratusan tapi ribuan bahkan puluhan ribu jamah membanjiri kawasan Kwitang setiap minggu pagi. Tausiyah yang diberikan Habib Ali terasa mengena di hati para jamaah karena demikian halus dan jernih penyampaiannya. Belum lagi setiap Minggu dibacakan pula maulid Simthud Durar yang yang dikarang Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, sebuah bacaan maulid yang mempesona. Pembacaan maulid itu sempat disiarkan secara live oleh RRI Studio Jakarta.
Majelis Kwitang tak hanya terkenal karena jamaahnya yang membludak, tapi juga karena kepeloporannya. Majelis Taklim Habib Ali di Kwitang merupaka majlis taklim pertama di Jakarta. Sebelumnya, boleh dibilang tidak ada orang yang berani membuka majelis taklim karena takut pada kolonial Belanda dan Jepang pada waktu itu. Menurut sejarawan Betawi, Umar Shahab, penjajah Jepang dalam upaya menarik dukungan masyarakat Indonesisa telah mendekati para alim ulama yang punya karisma besar ditengah masyarakat. Setiap pagi, saat muncul matahari, rakyat diharuskan membungkuk menghadap matahari. Tenno Heika, kaisar Jepang kala itu dan kaisar-kaisar sebelumnya oleh rakyatnya dianggap putra dewa matahari.
Ketika itu, para ulama dan tokoh pejuang menolak keharusan ini karena dianggap sebagai perbuatan musyrik. Akhirnya, kebiasaan ini dihentikan. Habib Ali adalah salah seorang yang menolak kebijakan itu dengan menggelar taklim setiap Minggu pagi. Majelis Kwitang inilah yang kemudian memberi virus bagi masyarakat Jakarta untuk menggelar taklilm di tempat lain, terkhusus setelah Habib Ali wafat pada tahun 1968.
Akhlak Indah
Habib Ali Kwitang bersama Habib Ali Bungur
Habib Ali Kwitang bersama Habib Ali Bungur

Tak ada resep lain yang membuat Majelis Kwitang bisa begitu mempesona selain karena cemerlangnya ilmu dan indahnya akhlak Habib Ali. Tak hanya dengan orang yang mencintainya, kepada orang yang membencinya Habib Ali juga berlaku santun. Akhlak sang Habib kepada ibunya juga dikabarkan sangat luhur. Ia berbakti dengan ikhlas dan selalu tawadhu. Tak pernah ia membantah perintah ibunya sekalipun. Jika sedang pergi belajar atau berdakwah ke tempat yang jauh dan ibunya meminta ia kembali melalui telegram, ia akan segera kembali secepatnya.
Ajaran Islam yang disuguhkan berlandaskan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial dan nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul karimah. Habib Ali menurut para ulama dan habaib mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tassawuf. Dia tidak pernah mengajarkan kebencian, hasad, dengki, ghibah, ataupun fitnah. Sebaliknya ia menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak setiap manusia tanpa membedakan status sosial.
Setiap orang yang berjumpa dengan beliau apalagi sampai mendengar pidatonya, pastilah sangat tertarik dan tersentuh hatinya. Terutama disaat beliau mentalqinkan zikir atau membaca shalawat dengan suara mengharukan dan tetesan airmata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Itulah gambaran kejernihan hati dan kecintaan seorang hamba jika sedang menyebut nama Rabb-Nya, Salah satu peristiwa yang dikaitkan dengan Habib Ali adalah pada saat ia mempersaudarakan anaknya, Habib Muhammad dengan tiga ulama betawi terkenal yang juga merupakan muridnya sebelum ia wafat. Tiga orang kyai kondang asal Jakarta yakni , KH. Abdullah Syafi’i, KH. Thahir Rohili, KH. Fathullah Harun ia minta maju ke hadapannya.
Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib Ali mempersaudarakan tiga ulama itu dengan anaknya dan berharap keempat ulama itu terus mengumandangkan dakwah Islam. Harapan itu berbuah manis, Habib Muhammad meneruskan tugas ayahnya memimpin Majelis Taklim Kwitang selama 26 tahun sebelum digantikan anaknya, Habib Abdul Rahman al- Habsyi hingga sekarang.
KH. Abdullah Syafi’i, sejak 1971 hingga 1985 memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah yang bermetamorfosa menjadi perguruan tinggi Islam. Hal ini sama dilakukan KH. Tharir Rohili dengan Majelis Taklim Ath-Thahiriyah-nya. Sedangkan KH. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968 dalam usia 102 tahun. Wafatnya beliau mengundang perhatian banyak orang dari berbagai kalangan, TVRI, satu-satunya stasiun televisi waktu itu juga turut mengabarkan berita duka ini kepada khalayak.
Kini sekalipun sudah hampir empat dekade tanah Jakarta kehilangan sumber ”mata airnya”, percikan sejuk dan berarti dari air itu masih masih terus mengalir lewat penerus Habib Ali yang tersebar dimana-mana. Membuat hati basah karena percikan air itu selalu mengajak orang untuk terus dekat dengan-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar