Selasa, 20 Januari 2015

Fatwa NU Lebih Kuat Dibanding Fatwa MUI?



 KH. Alawi Nurul Alam Al Bantani adalah Kyai yang mendapat mandat khusus dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk menangani perkara-perkara umat Islam di Indonesia dan karenanya merasa wajib bersuara menyangkut pelbagai perkara itu secara konstan. Menurut KH Alawi, sebagai ormas terbesar di Indonesia, NU memiliki fatwa yang lebih kuat dan absah dibandingkan fatwa MUI. Menurutnya, selain jumlah warganya yang hampir 100 juta, NU sudah ada sejak tahun 1926, jauh hari sebelum MUI berdiri. Apalagi, menurutnya, MUI dulu terindikasi sebagai lembaga yang sarat kepentingan politik.
“Dan juga perlu diketahui bahwa di jaman Soeharto, berdasarkan laporan para Kyai di PBNU/PWNU, MUI ini sengaja dibentuk untuk memecah-belah para Kyai di tubuh NU,” ungkapnya kepada ABI Press.
Sebab itu, menurut KH. Alawi, fatwa MUI sebenarnya tidak bisa dijadikan rujukan final atau yang utama. Terlebih oknum-oknum MUI sekarang telah banyak menganut paham Wahabi yang suka mengkafirkan sesama Muslim di luar kelompoknya. Tak heran jika dari lembaga yang sejatinya juga merupakan ormas ini sering muncul fatwa-fatwa “nyeleneh” yang justru menimbulkan perpecahan di tengah umat.
Kita ambil contoh, misalnya, fatwa terkait Muslim Syiah di Sampang, Madura. Akibat fatwa sesat dari MUI Jawa Timur, ratusan jiwa anak bangsa yang bermazhab Syiah itu terusir dan sampai sekarang mengungsi di dalam negeri sendiri. Bahkan di antara mereka ada yang sampai dibunuh.
Selain itu, buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” juga dinilai sebagai buku yang sarat provokasi dan sangat berpotensi memecah-belah umat Islam. Khususnya antara Sunni dan Syiah. Sebab itu, KH. Alawi menganggap penting NU sebagai lembaga yang menaungi mayoritas penduduk Muslim di Indonesia ini juga berfatwa.
“Tapi fatwa yang menyejukkan, yang membawa perdamainan, bukan perpecahan,” katanya.
Seperti apakah fatwa yang menyejukkan itu?
”Saya tahu Imam Khomeini (Ulama Syiah) pernah bilang begini, ‘Barang siapa dari kalangan orang Syiah shalat di belakang imam dari Ahlusunnah, maka dia sama seperti shalat di belakang Rosululloh SAW,’ dan kita butuh fatwa-fatwa yang menyejukkan seperti ini, sebetulnya,” jelas KH. Alawi.
KH. Alawi melanjutkan, “Ketika rapat di PBNU dua bulan lalu muncul pembahasan tentang fatwa, (kami berharap) insya Alloh dapat membuat fatwa untuk warga Nahdliyin. Jadi warga NU soal fatwa nanti ikut fatwa PBNU saja, bukan lagi fatwa MUI,” tegasnya.
Apalagi KH. Alawi menilai MUI saat ini sudah tidak lagi mewakili para ulama sebagai pengayom umat, sebagai bapak sekaligus guru bagi kaum Muslimin di Indonesia.(Liputanislam.com)

0 komentar:

Posting Komentar